Bangli-RMNews: Polemik pembangunan di kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Penelokan, Kintamani, Bali, membuka tabir lemahnya pengawasan pemerintah terhadap aktivitas di wilayah hutan lindung. Masyarakat adat Desa Kedisan secara terbuka menolak pembangunan tersebut, sementara pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali mengakui adanya kelalaian internal yang berujung pada berdirinya bangunan di kawasan konservasi tanpa izin adat.
Dalam pertemuan terbuka di Bangli, Rabu (15/10), Bendesa Adat Kedisan I Nyoman Lama Antara menegaskan bahwa masyarakat adat tidak pernah dilibatkan dalam proses perizinan pembangunan di wilayah yang dianggap sakral dan dilindungi.
“Tidak ada koordinasi ke bawah. Kami tegas menolak, karena wilayah hutan di Kedisan sangat dijaga secara adat,” ujarnya dengan nada tegas.
Perbekel Desa Kedisan, I Nyoman Gamayana, menambahkan, masyarakat menolak keras keberadaan bangunan itu dan meminta agar segera dibongkar.
“Kalau pemerintah tidak mampu, masyarakat siap turun tangan sendiri. Ini sudah jadi aspirasi bersama warga,” tegasnya.

Sikap tegas masyarakat adat itu akhirnya memaksa pihak BKSDA Bali angkat bicara. Kepala BKSDA Bali, Ratna Hendratmoko, dalam pernyataannya mengakui terjadinya kelalaian administrasi dan kurangnya komunikasi dengan pihak desa adat.
“Kami akui ada keterlambatan dan kurang koordinasi. Kami mohon maaf Ini kesalahan kami, dan kami siap bertanggung jawab. Bangunan itu akan dibongkar,” ujar Ratna di hadapan awak media.
Bangunan yang dipersoalkan diketahui milik I Ketut Oka Sari Merta, warga Desa Batur Tengah, yang mengantongi izin Perizinan Berusaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (PB-PJWA) dari BKPM. Namun, izin tersebut tidak disertai rekomendasi dari masyarakat adat, sehingga dianggap cacat secara sosial dan moral.
Dalam surat pernyataannya yang dibacakan oleh pihak BKSDA, Ketut Oka juga menyampaikan permohonan maaf dan kesediaannya bila bangunan tersebut harus dibongkar.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena memperlihatkan betapa lemahnya sinergi antara regulasi formal pemerintah dengan mekanisme adat di tingkat lokal. Pengawasan di lapangan yang semestinya berlapis, justru kecolongan hingga menyebabkan aktivitas pembangunan di wilayah konservasi berjalan tanpa kontrol.
“Ini tamparan besar bagi kami, namun sekaligus momentum untuk memperkuat sistem pengawasan dan memperhatikan peran masyarakat adat dalam konservasi.” ujar Ratna Hendratmoko.

Pertemuan yang juga dihadiri perwakilan Bupati Bangli, media, dan aparat BKSDA Bali, menghasilkan komitmen bersama untuk menegakkan prinsip konservasi dan menghormati otoritas adat dalam pengelolaan kawasan hutan.
Dengan rencana pembongkaran bangunan dan pemulihan kawasan TWA Penelokan, masyarakat berharap kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak agar tata kelola kawasan konservasi ke depan benar-benar transparan, partisipatif, dan berpihak pada kelestarian alam serta kearifan lokal. (skr)






