Denpasar-RMNews: Pernyataan Kejaksaan Agung bahwa Kejati Bali hanya menangani tiga kasus korupsi dalam periode terakhir memunculkan banyak pertanyaan publik. Benarkah Bali begitu bersih dari praktik korupsi? Atau ada faktor lain yang membuat kasus-kasus besar tak terungkap ke permukaan? Berikut wawancara eksklusif rakyatmerdekanews.com dengan Pande Mangku Rata, Ketua Garda Tipikor Indonesia (GTI) Provinsi Bali, Kamis (9/10) yang selama ini dikenal vokal dalam mengawasi penegakan hukum di daerah.
Menurut Pande Mangku Rata, angka “tiga kasus” yang disampaikan Kejaksaan Agung tidak mencerminkan keseluruhan situasi penanganan korupsi di Bali.
“Pernyataan itu bukan angka autentik. Kemungkinan besar yang dimaksud hanya kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat teras. Padahal, kasus korupsi yang menyeret aktor lain seperti ketua LPD, pengelola BUMDes, kepala dinas, dan pegawai bank jumlahnya sudah mencapai puluhan,” ungkapnya.
Pande Mangku menambahkan, ada kemungkinan Kejati Bali sengaja menahan informasi terkait beberapa perkara demi strategi penyidikan dan menjaga integritas bukti. Namun ia juga mengingatkan, jika bukan karena alasan strategis, jangan sampai ada dugaan kasus-kasus tersebut sengaja dipending untuk dijadikan alat bargaining demi kepentingan tertentu.
“Karena dalam jaringan antarpihak yang melibatkan pejabat, sangat mungkin menimbulkan tekanan informal atau lobi – lobi yang membuat sebuah kasus tertunda, bahkan terhenti,” tambahnya.
GTI menilai, lambannya penanganan kasus korupsi juga disebabkan oleh masih adanya proses penanganan kasus yang ada keterkaitan antarlembaga penegak hukum.
“Penegakan korupsi tidak hanya tugas Kejaksaan. Ada KPK, BPKP, auditor, dan kepolisian. Ketentuan pembuktian wajib melibatkan lembaga lain, sehingga proses tidak bisa cepat,” kata Pande.
Lebih lanjut, ia menyoroti bantuan fasilitas dari pemerintah daerah kepada lembaga penegak hukum yang berpotensi memengaruhi independensi.
“Bantuan dari Pemkab Badung dan Gianyar kepada Polda atau Kejati Bali, misalnya memang sah secara hukum. Tapi secara etis dan politis, ini menciptakan ketergantungan. Semakin lembaga yudikatif bergantung pada eksekutif, maka akan semakin berkurang independensinya,” tegasnya.
Pande mengungkapkan dalam hal transparansi, Kejati Bali terkesan lebih reaktif dibandingkan proaktif. Para pejabatnya baru mengklarifikasi kepada media kalau sudah ada sorotan publik atau tekanan dari atas.
“Padahal, dalam semangat good governance, proses penyelidikan dan penyidikan seharusnya dijelaskan secara terbuka kepada publik, tanpa harus karena ada tekanan dari siapa pun,” ujarnya.
Pande Mangku menduga baik sengaja atau tidak akuntabilitas internal kejaksaan masih lemah. Di sisi lain, pengawasan independen sangat terbatas, yang hanya
mengandalkan KPK, Ombudsman, dan media. Akibatnya, menjadi satu keprihatinan besar karena makin kuatnya “zona aman” bagi pelaku korupsi di Bali.
“Sikap tidak merasa terancam bagi pelaku korupsi makin sudah jadi kelaziman. Karena mungkin jejaring pengamanan kasusnya terlalu kuat. Jika ada aparat yang ngomong tegas, hanya gertak sambal, tidak ada ancaman hukum yang nyata. Ini karena sistem hukum kita masih terlalu lemah, apalagi masih sangat tajam ke bawah (orang kecil),” jelas Pande.
Pande Mangku menilai konspirasi antarpihak yang melibatkan pejabat dan aparat penegak hukum menjadi sangat potensial menyuburkan tindakan korupsi. Bahkan GTI juga mencium adanya selektivitas dalam sasaran penegakan hukum.
“Laporan GTI terkait dugaan korupsi yang melibatkan pejabat teras di Bali belum juga ditindaklanjuti. Justru kasus yang lebih cepat naik adalah yang melibatkan pejabat kecil. Ini yang kami maksud hukum tajam ke bawah. Ke atasnya, mana,” tanyanya.
Menurutnya, penindakan yang pilih-pilih seperti itu akan sangat memperburuk kepercayaan publik dan menciptakan ketimpangan dalam hukum.
Pande Mangku menegaskan bahwa media lokal dan masyarakat sipil punya peran strategis dalam mendorong transparansi.
“Berita media bisa menimbulkan tekanan publik. Contohnya, kontroversi “tiga kasus” versi Kejaksaan Agung itu saja langsung membuat Kejati Bali klarifikasi. Sayangnya, masyarakat masih enggan melapor karena pelapor tidak merasa terlindungi,” katanya.
Dalam hal penuntasan kasus korupsi, GTI tak menutup mata terhadap potensi tekanan dari kalangan elite.
“Tekanan dari aktor kuat secara politik dan ekonomi itu nyata, baik lewat jalur hukum maupun sosial. Tujuannya jelas, memperlambat atau menghentikan proses hukum,” tegasnya.
Minimnya penanganan kasus korupsi yang melibatkan elite, membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum. Menurut Pande, ini juga berdampak serius pada iklim investasi.
“Investor sensitif terhadap kepastian hukum. Kalau korupsi dibiarkan, mereka ragu masuk. Kasus bangunan destinasi wisata Parqi di Ubud itu contoh nyata: baru disorot setelah berdiri megah,” jelasnya.
Oleh karena itu, Pande Mangku mengusulkan langkah konkret agar koruptor merasa benar-benar terancam, antara lain, penindakan cepat dan transparan terhadap semua kalangan. Penguatan koordinasi antarlembaga hukum, Perlindungan maksimal bagi pelapor, Sanksi hukum dan non-hukum seperti daftar hitam dan larangan tender.
“Kalau hukum hanya tajam ke bawah, masyarakat akan semakin apatis,” serunya.
GTI juga mendesak kepada pemerintah pusat agar bantuan dari pemerintah daerah ke lembaga vertikal harus disalurkan lewat APBN, bukan APBD langsung, untuk menghindari konflik kepentingan. Harus ada transparansi penuh terhadap nilai dan penggunaan bantuan publik.
Pengawasan masyarakat sipil atas penurunan intensitas penindakan pasca bantuan. Penguatan kode etik independensi di internal Kejaksaan dan Kepolisian.
“Kalau kita mau sungguh-sungguh melawan korupsi, mulai dari niat dan keberanian. Jangan ada bargaining di balik meja. Penegakan hukum harus tegas, adil, dan transparan,” tutup Pande Mangku.
Seperti diketahui Garda Tipikor Indonesia (GTI) merupakan organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada advokasi dan pengawasan penegakan hukum yang focus terhadap tindak pidana korupsi di berbagai daerah, termasuk Bali. Suara GTI sering menjadi pengingat pentingnya transparansi dan integritas lembaga hukum di Indonesia. (can).