Bangli-RMNews: Tradisi pengabenan di Bali merupakan salah satu warisan luhur yang sakral dan dijunjung tinggi oleh umat Hindu. Namun, seiring perkembangan zaman dan dinamika sosial yang semakin kompleks, tak jarang muncul tantangan dalam pelaksanaannya, terutama saat terjadi benturan jadwal antara upacara adat, seperti nyadnya Dewa, dengan kematian mendadak di tengah masyarakat.
Dalam kondisi seperti itu, kehadiran krematorium menjadi solusi, bukan tujuan. Demikian penegasan yang disampaikan oleh Ketua Yayasan Krematorium Sagraha Madrakantha Santhi Bebalang, I Nyoman Karsana, SE. Menurutnya, krematorium hadir untuk membantu umat Hindu menjalankan upacara pengabenan dengan lebih fleksibel, tanpa meninggalkan akar tradisi dan ajaran sastra agama.
“Kadang saat desa sedang mempersiapkan Upacara Ngenteg Linggih atau kegiatan besar lainnya, ada warga yang meninggal. Supaya semuanya tetap berjalan, maka solusinya adalah kremasi. Ini bukan pengganti adat, tapi penopang saat situasi tak memungkinkan,” ujarnya, Senin (28/7).
Krematorium Bebalang kembali melayani upacara pengabenan pada Soma Umanis Bala, dengan total 8 sawa, termasuk di antaranya Ngelungah, yakni prosesi bagi bayi yang meninggal. Para keluarga datang dari berbagai wilayah di Kabupaten Gianyar dan Bangli, masing-masing membawa keyakinan dan tuntunan sesuai adat setempat. Pelaksanaan dipuput oleh sulinggih pilihan keluarga.
Upacara berlangsung khidmat namun tetap penuh makna dan nuansa religius, lengkap dengan gamelan angklung yang mengiringi prosesi serta pertunjukan tarian Topeng Sida Karya yang menghadirkan kekuatan simbolik pengembalian unsur Panca Mahabhuta ke alam.
I Gusti Made Widya Sena, warga Tegal Tugu, Gianyar, yang turut mengabenkan anggota keluarganya hari itu, mengaku lega dan bersyukur atas lancarnya prosesi.
“Saya melihat pelaksanaan ini telah sesuai dengan sastra agama, khususnya ajaran atiwa-tiwa. Krematorium ini jadi solusi yang efisien dan tetap menjaga nilai adat,” ungkapnya.
Senada dengan itu, Ni Putu Nova Yanti dari Dusun Penaga Landih, Desa Yangapi, Tembuku, merasa hatinya plong karena dapat melunasi Pitra Rna—hutang suci terhadap leluhur—dengan layak.
“Upacaranya sesuai sastra. Dudonan (rangkaian prosesi) juga sangat tertata. Saya puas,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Pihak krematorium menegaskan bahwa fleksibilitas menjadi kekuatan utama pelayanan mereka.
“Ada juga keluarga yang hanya mekingsan di Gni di sini, lalu prosesi lanjutan dilakukan di desa adatnya masing-masing,” terang Karsana.
Arahan pelaksanaan kremasi pun dijalankan sesuai petunjuk spiritual dari Ida Ratu Shri Begawan Putra Natha Bangli Anom Pemayun selaku pemucuk rohaniah krematorium.
Keberadaan krematorium di Bali saat ini semakin menunjukkan perannya sebagai jembatan antara pelestarian tradisi dan kebutuhan modern masyarakat Hindu. Lebih dari sekadar tempat, krematorium menjadi ruang kompromi yang tetap menghormati nilai-nilai spiritual, tanpa mengabaikan keterbatasan sosial.
Karena sejatinya, seperti yang ditekankan Karsana, “Krematorium bukan tujuan, tetapi solusi bijak demi kelangsungan harmoni adat dan spiritual umat.” (ips)